MAKALAH
HADITS
TARBAWI II
MENGUSAHAKAN
AKLAQ YANG MULIA
(JUJUR
DAN MALU)
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliyah hadits tarbawi II
Dosen pengampu : Drs H.Ahmad Rifa’i .MA
DI
SUSUN OLEH:
Nama : zulfa maromi
NIM : 2021112128
Kelas : c
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) PEKALONGAN
|
TAHUN 2014
PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna jika
dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Sebagai makhluk yang sempurna dan
sebagai khalifah dibumi manusia dituntut untuk berakhlak terpuji, karena dengan
akhlak terpuji manusia akan selamat didunia dan diakhirat. Dengan demikian
hendaklah menghias diri dengan akhlak terpuji dimanapun berada, dimulai dengan
berbuat baik terhadap diri sendiri, lingkungan keluarga, dan masyarakat.
Salah satu akhlak terpuji yang harus dimiliki oleh setiap manusia adalah
bersikap jujur, karena kejujuran akan membawa pada kebaikan. Kejujuran
merupakan pilar keimanan. Kejujuran merupakan kesempurnaan, kemuliaan, saudara
keadilan, sebaik-baiknya ucapan, dan hiasan perkataan
1.
Haditz
jujur
حديث عبدالله بن مسعود
رضي الله عنه عن النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قل : إِنَّ الصِّدْقَ يَهْد إِلَى
اْلبِرِّ وَإِنَّ اْلبِرَّ يَهْدِي إِلَى اْلجَنَّةِ وَ إِنَّ الرَّجُلَ
لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُوْنَ صِدِّيْقًا. وَإِنَّ اْلكِذْبَ يَهْدِي إِلَى
اْلفُجُوْرِ وَ إِنَّ اْلفُجُوْرِ يَهْدِي إِلَى النَّارِ. وَ إِنَّ الرَّجُلَ
لَيَكْذِبُ خَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا.
(أخرج البخارى فى : 78- كتاب الأدب :69 باب قول الله
تعالى : ياأيها الذين امنوااتقواالله وكونوا مع الصادقين)
Terjemah
Hadits: ”Abdullah ibnu Mas’ud berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya
benar (jujur) itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menuntun ke surga,
dan seseorang itu berlaku benar sehingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang
yang siddiq (yang sangat jujur dan benar). Dan dusta menuntun kepada curang,
dan curang itu menuntun ke dalam neraka. Dan seorang yang dusta sehingga
tercatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (Dikeluarkan oleh imim Bukhari dalam
kitab ”Tatakrama” bab: firman Allah Ta’ala: Hai orang-orang yang beriman
bertaqwalah kepada Allah dan jadilah kamu semua bersama orang-orang yang
benar).
Ø . Tinjauan Bahasa
الصِّدْقُ
: Dalam ucapan berarti lawan dari bohong Dalam niat berarti ikhlas; dalam
janji berarti menepatinya; dalam kelakuan berarti tidak melakukan
kejahatan; baik secara sembunyi-sembunyi maupun zahir. Kalau dalam berbagai hal
shiddiq (benar) Dinamakan الصِّدِّيْقُtetapi kalau benar dalam berbagai sifat saja dinamakan الصَّادِقُ
اَلْبِِرُّ
: Sebutan yang mencakup segala kebaikan
يهدي
: Menuntun, membawa
اَلْفُجُو رُ :
Lawan (kebalikan) dari اَلْبِرُّ
Kata kata الصدق yang berarti jujur, terbagi dalam 6 bagian :
1. Jujur dalam berbicara yaitu tidak
berbicara bohong
2. Jujur dalam niat yaitu ikhlas ( menjaga
ma’na kejujuran dalam bermunajat atau mendekatkan diri kepada allah),
3. Jujur dalam bertekad (kemauan yang besar)
pada hal yang baik yang telah kalian niatkan dalam artian menguatkan apa yang
telah kita tekadkan
4. Jujur dalam menepati tekad yang kuat,
kategori jujur kali ini ditujukan kepada penguasa yang mengumbar janji tatkala
kampanye
5. Jujur dalam beramal, maksudnya ketika
dalam keadaan tertutup atau rahasia maupun terang terangan dia berperilaku dan
berkata sama
6. Jujur dalam maqomat seperti jujur dalam
khauf dan roja’
Barang siapa yang dapat
mempunyai sifat 6 tersebut maka seseorang tersebut mendapat predikat صديق ,
apabila hanya sebagian yang terpenuhi dari sifat jujur tersebut maka mendapat
predikat صادق .
Ø
.
Penjelasan
Sebagaimana diterangkan
di atas bahwa berbagai kebaikan dan pahala akan diberikan kepada orang yang
jujur, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan dimasukan ke dalam surga dan
mendapat gelar yang sangat terhormat, yaitu siddiq, artinya orang yang sangat
jujur dan benar. Bahkan dalam Al-qur’an dinyatakan bahwa orang yang selalu
jujur dan selalu menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai orang yang bertaqwa:
Artinya :” Dan orang
yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa.”
(Q.S. Az- Zumar : 33)
Seorang hamba yang
terus menerus berbuat kebohongan didalam hatinya akan ada satu titik, titik itu
berwarna hitam, sehingga membuat hatinya menjadi hitam dan dicatat disisi allah
sebagai pembohong.
Hadits ini menganjurkan
agar selalu berkata jujur, sengaja berbuat jujur dan menikmati kejujuran, dan
juga hadits ini memberikan peringatan agar takut berbicara bohong, mempermudah
bohong, karena apabila sering mempermudah bohong akan memperbanyak dan menarik
kebohongan kebohongan yang lain.[1][2]
Penjelasan Lain:
Kata shidq
adalah bentuk intensif dari shadiq, dan berarti orang yang diresapi oleh
kebenaran. Kata shadiq (orang yang jujur) sendiri berasal dari kata shidq
(kejujuran). Derajat paling rendah kejujuran adalah jika batin seseorang serasi
dengan perbutan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam
kata-katanya. Shidq adalah orang yang benar dalam semua kata-kata,
perbuatan dan keadaan batinnya.[2][3]
Al-Raghib dalam
kitabnya Mufradat Al-Qur’an mengatakan: kata al-shidq
(kejujuran) dan al-kidzb (kedustaan, kebohongan) pada mulanya
dipakai untuk bentuk ucapan -yang berlalu atau akan tiba, berupa janji atau
bukan- dalam bentuknya berita, pertanyaan atau tuntutan. Dimana kejujuran
adalah ketepatan antara ucapan, isi hati, dan realitas yang diberitakan, dimana
apabila syarat itu tidak terpenuhi maka bukanlah kejujuran, tetapi kedustaan
atau diantara kejujuran dan kedustaan, seperti ucapan orang munafik.[3][4]
Barangsiapa yang
menginginkan pahala, niscaya mudah baginya patuh akan aturan Allah SWT. Tetapi
barangsiapa yang menganggapnya remeh, yaitu adanya surga, niscaya berat baginya
untuk melaksanakannya. Bersikap jujur sangatlah ringan bagi mereka yang
menginginkan pahala yang besar.[4][5]
Rasulullah memilih kata
yahdi (menunjukkan), karena kejujuran itu menarik kesurga, sebagaimana
surga itu membawa keneraka. Beliau juga memilih kata al-fujur
(kejahatan) karena kata tersebut mencakup segala bentuk kejahatan.[5][6]
Petunjuk (menunjukkan)
ialah penunjukan untuk sampai tujuan. Kejahatan (al-fujur) ialah
menyobek tutup keagamaan, atau diartikan
sebagai kecondongan merusak dan semangat bermaksiat, yakni bahwa kata al-fujr
mencakup semua keburukan, dimana asal kata al-fujr adalah bermakna
sobekan yang luas.
Kejujuran atau
kebenaran ialah nilai keutamaan dari yang utama-utama dan pusat akhlak, dimana
dengan kejujuran maka suatu bangsa menjadi teratur, segala urusan menjadi
tertib dan perjalanannya adalah perjalanan yang mulia. Kejujuran akan
mengangkat harkat pelakunya ditengah manusia, maka ia menjadi orang terpercaya,
pembicaraannya disukai, ia dicintai orang-orang, ucapannya diperhitungkan para
pengusaha, persaksiannya diterima didepan pengadilan. Dengan ini Rasulullah SAW
memerintahkan kita berkejujuran, sebagaimana juga Al-Qur’an memerintahkan kita
didalam firman-Nya.[6][7]
Kebenaran dan kedustaan
merupakan dua hal yang bertolak belakang. Kedustaan (al-kizb) merupakan
final dari segala hal yang buruk dan sekaligus merupakan asal dari berbagai
celaan (al-zamm) dengan segala natijah (hasil) yang jelek. Bertentangan
dengan kedustaan yang mengarah cara berfikir yang negatif,maka kebenaran (as-shidq)
adalah menginformasikan sesuatu sesuai dengan kenyataan, mengarah kepada cara
berfikir yang positif.[7][8]
Ø Dalil dan Hadits penguat
A. DALIL AL-QUR’AN
Dalam AlQur’an telah di sebutkan beberapa ayat tentang kejujuran antara
lain adalah:
1. Surat Al-Anfal ayat 58
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan,
Maka kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.
2. Surat An-Nahl ayat 105
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang
tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta.
3. Surat At-Taubah ayat 119
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang jujur (benar)
B. DALIL AL-HADIST
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم :
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى
الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ
فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إلَى
النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (اخرجه مسلم)
Dari Abdillah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Kalian harus jujur, karena
sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu
menunjukkan kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk
jujur akan ditulis disisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh
kalian dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan, dan
keburukan itu menunjukkan kepada neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan
berusaha untuk berdusta akan ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.”[8][1]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ
الْجَنَّةِ قَالَ الصِّدْقُ وَإِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ بَرَّ وَإِذَا بَرَّ آمَنَ
وَإِذَا آمَنَ دَخَلَ الْجَنَّةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ النَّارِ
قَالَ الْكَذِبُ إِذَا كَذَبَ الْعَبْدُ فَجَرَ كَفَرَ وَإذَا كَفَرَ دَخَلَ
يَعْنِي النَّارَ
(اخرجه أحمدفي الرسالة)
Dari Abdillah bin Umar bahwasanya seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah SAW kemudian bertanya kepada Rasul. Apa itu amal surga? Rasul
menjawab, “jujur, ketika seorang jujur maka dia telah melakukan perbuatan baik,
dan bila ia berbuat baik maka dia akan aman/ selamat dan bila dia selamat, maka
dia akan masuk surga.” Laki-laki itu bertanya, “Apa itu amal neraka?” Rasul
menjawab, “Bohong, ketika seorang (hamba) berbohong maka dia telah berbuat
salah. Ketika salah maka dia telah kafir dan apabila dia kafir maka dia masuk
neraka.”
Ø Makna Secara Umum:
Dalam hadits ini
mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk jujur dalam perkataan maka
akan menjadi karakternya dan barangsiapa sengaja berdusta dan berusaha
untuk dusta maka dusta menjadi karakterya. Dengan latihan dan upaya untuk
memperoleh, akan berlanjut sifat-sifat baik dan buruk.
Hadits diatas
menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya akan membawa orang
yang jujur ke jannah serta menunjukan akan besarnya keburukan dusta dimana
ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka
Jujur dan dusta tidak
pernah terpisah, padahal keduanya adalah berlawanan. Orang-orang masih
mempergunakan timbangan kepada yang manakah sikap atau perangai seseorang.
Tetapi dusta (bohong) itu tetap dusta, tidak ada pertikaian diantara yang
memandangnya dan tidak ada yang sanggup membela suatu kedustaan, untuk
mengatakan bahwa dia itu benar. Dusta menimbulkan kebencian diantara
orang-orang dan menyebabkan kehilangan kepercayaan diantara mereka dan
menjadikan mereka saling menjauh, tidak saling menolong dan tidak terdapat
kerukunan diantara mereka. Karena itu, benarlah islam menganggap dusta sebagai
dosa yang besar, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits diatas.[9][9]
Di era materialisme
dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan
sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia.
Fenomena ketidak jujuran saat ini telah benar-benar menjadi realitas sosial yang
menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah berlangsung sedemikian
transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk keberbagai
wilayah kehidupan manusia. Sosok manusia jujur telah menjadi makhluk langka
dibumi ini. Mencari orang-orang pintar lebih mudah daripada mencari orang-orang
jujur. Keserakahan dan ketamakan kepada materi kebendaan, mengakibatkan manusia
semakin jauh dari nilai-nilai kejujuran dan terhempas dalam kubangan
materialisme dan hedonisme yang cenderung menghalalkan segala cara.
Pada masa sekarang,
banyak manusia tidak mempedulikan jalan-jalan yang halal dan haram dalam
mencari uang dan jabatan. Sehingga sering didengar ungkapan-ungkapan kaum
materialis, “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Bahkan banyak
juga yang mengucapkan, “kalau jujur akan terbujur, kalau lurus akan kurus,
kalau ikhlas akan tergilas.” Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia
zaman kini telah dilanda penyakit mental yang luar biasa, yaitu penyakit
ketidak jujuran.
Dengan demikian, sangat
dibutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan kejujuran pada setiap individu.
Adapun faktor-faktor yang mendorong tindak kebenaran (as-shidq), menurut
Al-Mawardi adalah:
1. Akal,disamping ia mampu membedakan mana yang benar dan mana pula yang tidak
benar, akal juga memiliki kecenderungan kepada kebaikan (mustahsinat).
2. Agama, karena ia tidak mungkin bertentangan dengan akal, maka syariat
datang menguatkan argumentasi akal.
3. Kepribadian yang baik (muru’ah) ia selalu menentang kecenderungan yang
negatif, dan mendorong kepada hal-hal yang positif.[10][10]
Adapun macam-macam dari
kejujuran adalah sebagai berikut:
1. Jujur dalam niat
Yang dimaksud dengan niat yang benar adalah senantiasa berharap akan ridha
Allah SWT dalam setiap perbuatan dan perkataan yang keluar dari mulut
seseorang.
2. Jujur dalam lisan
3. Jujur dalam berbuat
Ø Faedah yang Dapat Diambil dari Hadits
Berikut ini merupakan
faedah yang dapat dipetik dari sikap jujur didalam hadits, diantaranya sebagai
berikut:
1. Kejujuran merupakan akhlak terpuji yang dianjurkan oleh islam
2. Diantara petunjuk islam hendaknya perkataan orang sesuai dengan isi hatinya
3. Jujur merupakan sebaik-baiknya sarana keselamatan didunia dan diakhirat
4. Seorang mukmin yang bersikap jujur dicintai disisi Allah dan disisi manusia
5. Membimbing bahwa jujur itu jalan keselamatan didunia dan diakhirat
6. Dusta merupkan sikap buruk yang dilarang islam
7. Menasehati orang yang mempunyai sifat dusta
8. Dusta merupakan jalan yang menyampaikan keneraka
9. Menegakkan keadilan dan kebenaran
10. Mendatangkan ketentraman jiwa
Hadutz malu
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ
اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ
. “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah
malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush
Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 940)
Jika makna malu adalah mencegah
dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki malu, pada
dasarnya adalah seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Di samping
itu rasa malu adalah ciri khas dari kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh
manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah kekurangan dan
suatu aib.
Rasa malu juga merupakan bagian
dari kesempurnaan iman. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi: “Malu adalah
bagian dari keimanan.” Juga haditsnya yang lain: “Rasa malu selalu mendatangkan
kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ø Malu Itu Ada Dua Jenis
1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]
1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]
Malu seperti ini menghalangi
seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar
berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin
‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun
karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal
Hikam (I/501).]
2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]
.
2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]
.
Ø Malu Yang Tercela
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang
menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu
ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena
menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan
pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada
Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya,
menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi
tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya
ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. [Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182)]
Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu
syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi
munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di
masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu
mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang
semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya
memperoleh kebaikan yang sangat besar.
Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
Artinya : “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).]
Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Artinya : “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.]
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).
Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
Artinya : “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).]
Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Artinya : “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.]
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).
FAWÂÎD HADÎTS
1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.
4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa' (setia).
8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
11. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
12. Malaikat mempunyai sifat malu.
13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Artinya : “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah]
1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.
4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa' (setia).
8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
11. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
12. Malaikat mempunyai sifat malu.
13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Artinya : “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah]
PENUTUP
Kata الصدق yang berarti jujur, terbagi dalam 6 bagian
yaitu: Jujur dalam berbicara, jujur dalam niat, jujur dalam bertekad, jujur
dalam menepati tekad yang kuat, jujur dalam beramal, dan jujur dalam maqomat.
Barang siapa yang dapat mempunyai sifat 6 tersebut maka seseorang tersebut
mendapat predikat صديق.
Sedangkan orang yang terus-menerus berbuat kebohongan akan dicap disisi Allah
sebagai كذابا, orang yang كذاباdikenal malaikat sebagai ahli bohong, dan akan dihiasi sifat-sifat
pembohong dan akan mendapatkan siksa.
Di era materialisme
dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan
sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Adapun
faktor-faktor untuk mendorong tindak kebenaran (as-shidq), menurut Al-Mawardi
adalah: akal, agama, dan kepribadian yang baik (muru’ah).
Faedah yang dapat
dipetik dari sikap jujur didalam hadits, diantaranya sebagai berikut: kejujuran
merupakan akhlak terpuji yang dianjurkan oleh islam, jujur merupakan
sebaik-baiknya sarana keselamatan didunia dan diakhirat, seorang mukmin yang
bersikap jujur dicintai disisi Allah dan disisi manusia.
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi
perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
al-Bukhori, al-Khusaini
al-Qonuji. 1992. As-Siroojul Wahhaaj.
al-Ghazali, Imam. 1994.
Bahaya Lidah. Jakarta: Bumi Aksara.
al-Imam Abi Qosim Abdul
Karim. Ar-Risalatul Qusyairiyyah.
al-Khauli, Muhammad
Abdul Aziz. 2006. Menuju Akhlak Nabi. Semarang: Pustaka
Nuun.
al-Musawi, Khalil.
1992. Bagaimana Membangun Kepribadian Anda?. Jakarta: PT Lentera
Basritama.
al-Qusyayri, Abd
al-Karim Ibn Hawazin. 1990. Risalah Sufi al-Qusyayri. Bandung: Pustaka.
Khalid, Amru. 2007. Berakhlak
Seindah Rasulullah. Semarang: Pustaka Nuun.
Syukur, Suparman. 2004.
Etika Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[2][3] Abd al-Karim
Ibn Hawazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri,
(Bandung: Pustaka, 1990) hlm. 187-188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar